(Gambar 1.1)
Fasad rumah tradisional dengan bangku duduk yang didominasi bahan kayu serta pintu geser arah horizontal dan vertikal dari kayu.
Zaman
Edo berlangsung sekitar tahun 1600–1868 ketika Jepang di bawah
pemerintahan Sogun menutup pengaruh dan hubungannya dengan dunia Barat.
Keputusan itu tercermin pada pola perkembangan kota kecil di sepanjang
jalur Nakasendo, salah satu di antaranya dapat dilihat di desa kuno
Tsumago yang bangunan rumah tinggalnya tampak jelas didominasi corak
arsitektur tradisional Jepang gaya Edo.
Beberapa jalan kecil berupa
gang juga sangat menarik diikuti karena dari jalan kecil tersebut kita
dapat melihat taman gaya Jepang di area halaman belakang dan depan
rumah. Taman yang dilengkapi kolam batu alam dilengkapi bonsai, pancuran
air dari bambu, dan kerajinan bambu lain menambah daya tarik kawasan
ini.
(Gambar 1.2)
Rumah tradisional Jepang berbahan kayu dan atap ditindih batu dengan aksesori fasade khas Jepang
Kebanyakan
bangunan utama di kawasan ini terbuat dari papan yang bila kita lihat
lebih jauh menunjukkan kedekatan kehidupan Tsumago dengan pertanian,
perdagangan, dan bisnis jasa yang menjadi mata pencarian utama penduduk
pada masa Sogun.
Atap yang ditindih batu untuk menahan agar tidak
terbang tertiup angin dengan talang air pada sisi atap dan menyalurkan
air ke tanah yang terbuat dari bambu juga menunjukkan kecerdikan dan
pemikiran unsur teknis tukang bangunan masa Edo. Ruangan dengan lantai
tanah, tatami, dan fondasi batu alam yang ditindih bangunan bahan kayu
menjadi salah satu ciri khusus.
Dengan struktur bangunan kayu
berpintu geser dengan teralis kayu horizontal dan vertikal
memperlihatkan gaya arsitektur tradisional jepang kuno. (gambar 1.3)
(gambar 1.3)
Tidak
hanya citranya, tetapi konstruksinya pun sederhana sekali “ semakin
sedikit, semakin baik”. Prinsip ini sudah diambil alih dalam seni
arsitektur internasional.
INTERIOR RUMAH TRADISIONAL JEPANG
Sudah
sejak abad ke 18 masyrakat Barat yang sudah diresapi citarasa
matematika dan penalaran segala bidang kehidupan menemukan jepang
sebagai negeri selera ningrat dan citarasa yang sangat cocok dengan
dambaan manusia kebudayan industri yakni perpaduan antara yang eksak
matematis dan yang menumbuhkan haru pada segala yang indah. Maka
garis-garis dan kepolosan dinding-dinding geometrik yang menandai
seluruh arsitektur jepang mereka jadikan contoh ekspresi. (lihat gambar
1.4)
(Gambar 1.4)
Interior
dan pemilihan bahan rumah Jepang Tradisional ini pun masih sama napas
cita rasanya. Dinding-dinding tipis, nyaris tidak bermateri (kertas pun
masih dipakai untuk dinding-dinding ruangan). Tidak aman memang dan
sangat dingin di musim salju,tetapi sikap Shinto satu dengan alam tetap
dimenangkan.
Melalui
gambar ini dan seterusnya kita dapat mempelajari dampak dan hikam
akrsitekutur tradisional Jepang yang kontemporer secara lebih
terperinci. Tampaklah betapa sangat mungkinlah modernisasi dengan bahasa
kontemporer, tanpa meninggalkan kekhasan pribadi pribumi.
Maka
perhatikan gambar 1.5 dalam pasal 9 dari arsitektur modern tahun-tahun
20-30an. Tampaklah ciri ke Jepangan pada bangunan dan perabot rumah itu.
Lihat gambar (1.5)
(gambar 1.5)
Citarasa
kepolosan dan kesederhanaan yang bernapas Shinto itu lebih meluas lagi
sesudah Perang Dunia II, yang ternyata sedambaan dengan citarasa menusia
yang baru saja dianiaya oleh wabah bahasa Meriam dan bom dunia
industri. Di sini selera dan citra arjuna sangatlah jelas.
Perhatikan
dinding-dinding, lantai dan langit-langit. Semua serba bidang polos,
dapat dikatakan tanpa hiasan apapun. Satu-satunya “hiasan” hanyalah
permainan garis-garis lurus dan bidang-bidang murni. Ditambah gambar
bergaya sangat hekmat goresan, kaligrafi sajak satu saja di ruang utama
dengan tokonominya. (lihat gambar 1.6)
(gambar 1.6)
Dalam
ruang utama, tempat penerimaan tamu, dibuat panggung kecil yang
berdinding mundur sebagai tempat keramat, suatu fokus, tempat orientasi
diri psikologis dalam rumah, yang disebut tokonoma. Kadang-kadang
lukisan diganti dengan yang lain, atau dipajang satu syair dengan seni
kaligrafi indah, demi percakapan tenbtang puisi atau tukar-menukar
kearifan, pengetahuan budaya.
(gambar 1.7)
Ruang
Panti minum Bosen , dari biara Kohoran. Lihatlah bagaimana sekian unsur
kontras bermain dalam melodi tesa-antitesa-sintesa:
1. Luar dan Dalam.
2. Garis bidang geometrik lurus-datar-ketat dan bentuk-bentuk organik luwes.
3. kebersihan polos netral warna di dalam dan yang serba variasi warna-warni di luar.
(Gambar 1.8)
Denah
Rumah tradisional Jepang dengan pembagian ruang yang berbentuk
sederhana yaitu kotak atau persegi. Manusia modern abad ke 20 memang
sedang gandrung pada segala hal yang geometris. Tetapi geometriks yang
menyentuh kalbu hati. Dan apa yang menjadi kenyataan budaya arsitektur
dari seorang tokoh dan perintis arsitektur modern, Mies Van der Rohe?
Mies van der Rohe merumuskannya demikian: “semakin sedikit semakin
baik”. Tetapi perumusan yang menjadi tersohor itu praktis sudah
dikerjakan berabad-abad oleh orang-orang yang berjiwa Shinto dan Budha
Zen.
sumber dair google, wikipedia, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar